pengertian penalaran:
- Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi – proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut menalar.
- Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi – proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut menalar.
- Istilah penalaran atau reasoning dijelaskan oleh Copi (1978) sebagai berikut: “Reasoning is a special kind of thinking in which inference takes place, in which conclusions are drawn from premises” (h.5). Dengan demikian jelaslah bahwa penalaran merupakan kegiatan, proses atau aktivitas berpikir untuk menarik suatu kesimpulan atau membuat suatu pernyataan baru berdasar pada beberapa pernyataan yang diketahui benar ataupun yang dianggap benar yang disebut premis. Istilah lain yang sangat erat dengan istilah penalaran adalah argumen. Giere (1984) menyatakan: “An argument is a set of statements divided into two parts, the premises and the intended conclusion” (h.32). Dapatlah disimpulkan sekarang bahwa pernyataan yang menjadi dasar penarikan suatu kesimpulan inilah yang disebut dengan premis atau antesedens. Sedang hasilnya, suatu pernyataan baru yang merupakan kesimpulan disebut dengan konklusi atau konsekuens. Dari dua definisi tadi akan jelaslah bahwa ada kesamaan antara penalaran dan argumen. Beda kedua istilah itu menurut Soekardijo (1988) adalah, kalau penalaran itu aktivitas pikiran yang abstrak maka argumen ialah lambangnya yang berbentuk bahasa atau bentuk-bentuk lambang lainnya. Bentuk atau bagan suatu argumen adalah:
(Premis 1)
(Premis 2)
           .
(Premis n)\
Konsep dan simbol dalam penalaran
Penalaran juga merupakan aktivitas pikiran yang abstrak, untuk mewujudkannya diperlukan simbol. Simbol atau lambang yang digunakan dalam penalaran berbentuk bahasa, sehingga wujud penalaran akan akan berupa argumen.
Kesimpulannya adalah pernyataan atau konsep adalah abstrak dengan simbol berupa kata, sedangkan untuk proposisi simbol yang digunakan adalah kalimat (kalimat berita) dan penalaran menggunakan simbol berupa argumen. Argumenlah yang dapat menentukan kebenaran konklusi dari premis.
Berdasarkan paparan di atas jelas bahwa tiga bentuk pemikiran manusia adalah aktivitas berpikir yang saling berkait. Tidak ada ada proposisi tanpa pengertian dan tidak akan ada penalaran tanpa proposisi. Bersama – sama dengan terbentuknya pengertian perluasannya akan terbentuk pula proposisi dan dari proposisi akan digunakan sebagai premis bagi penalaran. Atau dapat juga dikatakan untuk menalar dibutuhkan proposisi sedangkan proposisi merupakan hasil dari rangkaian pengertian.
Syarat-syarat kebenaran dalam penalaran
Jika seseorang melakukan penalaran, maksudnya tentu adalah untuk menemukan kebenaran. Kebenaran dapat dicapai jika syarat – syarat dalam menalar dapat dipenuhi.
Suatu penalaran bertolak dari pengetahuan yang sudah dimiliki seseorang akan sesuatu yang memang benar atau sesuatu yang memang salah.
Dalam penalaran, pengetahuan yang dijadikan dasar konklusi adalah premis. Jadi semua premis harus benar. Benar di sini harus meliputi sesuatu yang benar secara formal maupun material. Formal berarti penalaran memiliki bentuk yang tepat, diturunkan dari aturan – aturan berpikir yang tepat sedangkan material berarti isi atau bahan yang dijadikan sebagai premis tepat.
dua jenis metode dalam menalar yaitu induktif dan deduktif.
Penalaran Induktif
adalah suatu penalaran yang berpangkal dari peristiwa khusus sebagai hasil pengamatan empirik dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat umum. Dalam hal ini penalaran induktif merupakan kebalikan dari penalaran deduktif. Untuk turun ke lapangan dan melakukan penelitian tidak harus memliki konsep secara canggih tetapi cukup mengamati lapangan dan dari pengamatan lapangan tersebut dapat ditarik generalisasi dari suatu gejala. Dalam konteks ini, teori bukan merupakan persyaratan mutlak tetapi kecermatan dalam menangkap gejala dan memahami gejala merupakan kunci sukses untuk dapat mendiskripsikan gejala dan melakukan generalisasi.
Contoh : Masyarakat Indonesia konsumtif (umum) dikarenakan adanya perubahan arti sebuah kesuksesan (khusus) dan kegiatan imitasi (khusus) dari media-media hiburan yang menampilkan gaya hidup konsumtif sebagai prestasi sosial dan penanda status sosial
Korelasi Penalaran Deduktif dan Induktif
kedua penalaran tersebut seolah-olah merupakan cara berpikir yang berbeda dan terpisah. Tetapi dalam prakteknya, antara berangkat dari teori atau berangkat dari fakta empirik merupakan lingkaran yang tidak terpisahkan. Kalau kita berbicara teori sebenarnya kita sedang mengandaikan fakta dan kalau berbicara fakta maka kita sedang mengandaikan teori.
Dengan demikian, untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah kedua penalaran tersebut dapat digunakan secara bersama-sama dan saling mengisi, dan dilaksanakan dalam suatu ujud penelitian ilmiah yang menggunakan metode ilmiah dan taat pada hukum-hukum logika. Upaya menemukan kebenaran dengan cara memadukan penalaran deduktif dengan penalaran induktif tersebut melahirkan penalaran yang disebut dengan reflective thinking atau berpikir refleksi.
Jika seseorang melakukan penalaran, maksudnya tentu adalah untuk menemukan kebenaran. Kebenaran dapat dicapai jika syarat – syarat dalam menalar dapat dipenuhi.
Suatu penalaran bertolak dari pengetahuan yang sudah dimiliki seseorang akan sesuatu yang memang benar atau sesuatu yang memang salah.
Dalam penalaran, pengetahuan yang dijadikan dasar konklusi adalah premis. Jadi semua premis harus benar. Benar di sini harus meliputi sesuatu yang benar secara formal maupun material. Formal berarti penalaran memiliki bentuk yang tepat, diturunkan dari aturan – aturan berpikir yang tepat sedangkan material berarti isi atau bahan yang dijadikan sebagai premis tepat.
Berikut ini akan disajikan satu contoh penalaran. Pada suatu hari, seorang ibu yang dikenal cerewet akan pergi ke Setasiun Kota dengan taksi. Selama di dalam taksi, si ibu tadi berceritera panjang lebar yang pada akhirnya membuat kesal Pak Sopir. Pak Sopir lalu menyatakan kepada Ibu tadi bahwa alat bantu pendengarannya tertinggal di rumahnya sehingga ia tidak mendengar pembicaraan si ibu tadi dan memintanya untuk berhenti berceritera. Sesampainya di setasiun, si ibu dengan kemampuan bernalarnya yang cukup canggih merasa bahwa pak Sopir itu telah berbohong kepadanya karena ia telah menyatakan bahwa alat bantu pendengarannya tertinggal di rumahnya. Pertanyaan yang dapat diajukan adalah, mengapa si ibu tadi lalu sampai pada kesimpulan seperti itu?
Ternyata, dengan kemampuan bernalarnya, si ibu tadi berdasar fakta-fakta dan asumsi-asumsi yang telah dijadikan sebagai premis, ia sampai pada suatu konklusi bahwa Pak Sopir itu telah berbohong kepadanya. Argumen yang tersusun di dalam benaknya sehingga ia sampai ke kesimpulan tersebut di kenal di dalam logika maupun matematika sebagai pembuktian tidak langsung (indirect proof, reductio ad absurdum) yang paling sering digunakan Euclides untuk membuktikan rumus-rumus geometrinya. Langkah awal dalam pembuktian tidak langsung ini adalah dengan memisalkan sangkalan atau negasi dari yang ingin dibuktikan merupakan hal yang terjadi. Karena si ibu ingin meyatakan bahwa si sopir tadi masih menggunakan alat bantu pendengarannya, maka yang dimisalkan pada premis 1 adalah sangkalan atau negasi dari yang ingin dibuktikannya itu, yaitu si sopir tidak menggunakan alat bantu pendengarannya. Inilah argumennya.
Premis 1: Misalkan si sopir tidak menggunakan alat bantu pendengarannya.
Premis 2: Jika si sopir tidak menggunakan alat bantu pendengarannya maka ia tidak akan mendengar permintaannya untuk diantar ke Setasiun Kota.
Premis 3: Jika ia tidak mendengar permintaannya ke Setasiun Kota, maka ia tidak akan diantar ke Setasiun Kota.
Premis 4: Ternyata ia diantarkan ke Setasiun Kota.
Perhatikan premis 1 sampai 3 di atas. Jika si sopir memang benar tidak menggunakan alat bantu pendengarannya maka ia tidak akan mendengar permintaan si ibu tadi, sehingga ia tidak akan diantarkan ke Setasiun Kota. Adakah yang salah pada argumen atau penalaran ibu tersebut? Tidak ada bukan. Intinya, jika si sopir memang benar tidak menggunakan alat bantu pendengarannya maka si ibu tidak akan diantarkan ke Setasiun Kota. Ternyata pada premis 4, berdasar fakta yang ada, si ibu diantarkan ke setasiun kota. Hal ini telah menunjukkan terjadinya suatu keadaan yang kontradiktif, suatu keadaan yang absurd. Seharusnya si ibu tidak diantar ke setasiun sebagai akibat dari pemisalan pada premis 1, namun ia diantar ke setasiun. Kesimpulan akhirnya, pemisalan pada premis 1 yang telah menyebabkan suatu keadaan yang kontradikdif (absurd) itu harus ditolak dan harus diberi nilai salah. Dengan demikian, tidaklah benar bahwa si sopir tadi tidak menggunakan alat bantu pendengarannya. Kata lainnya, si sopir tadi masih menggunakan alat bantu pendengarannya. Jadi, si sopir telah berbohong kepada si ibu.
Di dalam menjalani kehidupan sehari-hari kita tentunya melakukan penalaran tentang berbagai hal baik ketika mengamati suatu benda,keadaan alam dan lingkungan,peristiwa,berbicara dengan orang lain dan lain-lain.Bahkan dalam melakukan kegiatan penelitian penalaran sangatlah penting dalam mepermudah mempelajari apa yang kita teliti.
REFERENSI:
1.http://id.wikipedia.org/wiki/Penalaran
2. http://rozi.ngeblogs.com/archives/13
3. http://prabu.telkom.us/2007/08/29/penalaran-atau-reasoning
Tidak ada komentar:
Posting Komentar